,

Iklan

RUU Minerba Usulkan Perguruan Tinggi Kelola Tambang; Rentan Konflik Kepentingan

Kamis, 30 Januari 2025, 14.23 WIB Last Updated 2025-01-30T07:22:59Z
Foto : Istimewa 

TribunIKN.Com - Ravisi Undang-Undang (RUU) nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan dan Mineral Batubara (Minerba) mengusulkan Perguruan Tinggi (PT) diizinkan mengelola tambang dengan skala prioritas. Usulan itu datang dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setelah disahkan dalam rapat paripurna ke 11 menuai berbagai tanggapan.


Mantan Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Ginar Kartawidjaya menanggapi usulan kampus kelola tambang. Menurutnya, usulan itu rentan konflik kepentingan antara tujuan pendidikan dan komersial. Kampus selama ini menjadi tempat mendidik seakan berubah orientasinya menjadi tempat berbisnis.


“Saya memahami usulan itu kok bertentangan sekali sama tujuan pendidikan. Ini kampus dikasih kesempatan kelola tambang jadi kampus berbisnis, orientasinya bukan lagi mendidik. Itu rentan banget konflik kepentingan,” ujar Ginar dalam keterangannya pada Kamis, (30/1/2025).


Kemudian, Ginar merasa khawatir ada niat terselubung dari usulan perguruan tinggi kelola tambang. Bisa jadi cara pemerintah membungkam daya kritis kampus dan mahasiswa pada pemerintah. Dengan memberikan beasiswa hasil konsesi tambang, menurutnya, kampus dan mahasiswa mudah dikondisikan oleh pemerintah.


“Kita belajar dari pimpinan kampus ikut bersuara soal keputusan MK menurunkan batas minimal usia calon presiden dan wakil presiden. Demo besar kemarin tekait keputusan MK soal Pilkada. Begitu besarnya antusias mahasiswa turun ke jalan dari berbagai daerah. Mungkin pemerintah khawatir jika terulang lagi. Maka perlu petinggi kampus dan mahasiswa dikondisikan dengan cara diberi izin kelola tambang,” tegas Aktivis PMII Jakarta itu.       


Ginar menjelaskan komposisi kekuatan politik saat ini di parlemen hampir semuanya bergabung ke barisan pemerintah. Tinggal tunggu satu partai lagi yang belum resmi menyatakan gabung pemerintah. Meskipun sudah ada indikasi bakal gabung pemerintah, keputusan resminya saat kongres. Ini berarti tidak ada lagi penyeimbang pemerintah di parlemen. Garda terakhir tinggal kampus dan mahasiswa.


“Makanya kampus dan mahasiswa idealismenya seakan dipertaruhkan. Kalo dapet konsesi tambang, maka akan mudah dikendalikan dan daya kritis mahasiswa ke pemerintah bisa menurun. Itu artinya tidak ada lagi penyeimbang pemerintah yang sepadan,” terang Ginar. 


Jika usulan itu disahkan, Ginar mempertanyakan sumber daya manusia (SDM) di setiap kampus untuk kelola tambang. Tidak semua kampus, menurutnya, mempunyai SDM yang mampu kelola tambang. Bahkan untuk modal awal kelola tambang, belum tentu kampus mempunyai itu. Apalagi nilainya sangat besar, yang pada akhirnya nanti akan bekerja sama dengan pihak swasta.


“Meskipun dengan tujuan untuk mengurangi biaya kuliah bagi para mahasiswa, ya caranya bukan begitu. Emang SDM di kampus bisa kelola tambang? Mungkin ada, tapi sedikit kayaknya. Emang kampus punya modal kelola tambang? Kelola tambang resiko bisnisnya besar. Kalo gak punya modal, paling ujung-ujungnya rangkul swasta,” ungkapnya.


Ginar mengungkapkan bahwa pertambangan dapat merusak lingkungan. Hal itu sangat jelas bertentangan dengan kampus yang mempunyai tugas pengabdian kepada masyarakat yang tujuannya sangat baik. Apabila kampus ikut kelola tambang, menurutnya, kampus secara sengaja ikut andil merusak lingkungan.


“Kalo tujuannya bantu mahasiswa biar bisa bayar tunggakkan di kampus, mending pajak pertambangan dinaikkan, nanti dialokasikan jadi beasiswa. Ini malah kampus yang kelola tambang, keliru banget,” jelas Ginar.  


Lebih lanjut, Ginar menegaskan pihak yang mengusulkan kampus kelola tambang seakan tidak mempertimbangkan kerugian. Padahal dalam berbisnis kerugian sudah pasti selalu menyertai perjalanan bisnis. Kelola tambang bukan bisnis skala kecil tapi lingkupnya sudah sangat besar.


“Ini seandainya kelola tambang tapi hasilnya malah rugi, kampus sebagai tempat mendidik pasti kena imbasnya juga. Pada akhirnya kampus tidak stabil dalam menjalankan tugasnya menjadi tempat mengajar,” tutup Ginar.