,

Iklan

Fenomena Kumpul Kebo: Romantisme Modern atau Ancaman Bagi Perempuan dan Anak?

Sabtu, 26 Oktober 2024, 13.05 WIB Last Updated 2024-10-26T06:06:59Z


TribunIKN.com  - Fenomena hidup bersama tanpa ikatan pernikahan resmi, atau yang lebih dikenal sebagai "kumpul kebo," kian marak di Indonesia. Meski bertentangan dengan norma hukum dan agama yang dominan di Indonesia, semakin banyak pasangan muda memilih untuk tinggal bersama tanpa pernikahan, menandai adanya pergeseran nilai dan pandangan terkait relasi.


Menurut laporan dari The Conversation, salah satu alasan utama di balik tren ini adalah perubahan pandangan anak muda mengenai pernikahan. Mereka mulai memandang pernikahan sebagai institusi yang terlalu terstruktur, sementara "kumpul kebo" dianggap sebagai bentuk relasi yang lebih murni dan bebas dari beban aturan normatif.


Meski fenomena ini juga terlihat di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru, di Asia yang memegang kuat nilai tradisi dan agama, "kumpul kebo" masih sulit mendapatkan penerimaan legal. Di Indonesia sendiri, praktik ini lebih banyak dijumpai di wilayah Indonesia Timur, seperti Manado, di mana mayoritas penduduknya beragama non-Muslim.


Studi Kohabitasi di Indonesia;


Sebuah studi berjudul The Untold Story of Cohabitation pada tahun 2021 mengungkapkan bahwa alasan utama pasangan di Manado memilih "kumpul kebo" adalah tekanan finansial, prosedur perceraian yang rumit, serta penerimaan sosial yang relatif lebih tinggi dibandingkan wilayah lain. Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yulinda Nurul Aini, menyebutkan bahwa 0,6 persen penduduk Kota Manado hidup bersama tanpa pernikahan formal.


“Dari data Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milik BKKBN, 1,9 persen dari pasangan kohabitasi di Manado diketahui sedang hamil, 24,3 persen berusia di bawah 30 tahun, dan 83,7 persen hanya memiliki pendidikan SMA atau lebih rendah,” jelas Yulinda. Ia menambahkan bahwa 53,5 persen dari pasangan ini bekerja di sektor informal, yang memperparah kerentanan finansial mereka.


Risiko Ekonomi dan Sosial Bagi Perempuan dan Anak;


Dalam konteks ekonomi, Yulinda menyoroti bahwa perempuan dan anak menjadi pihak yang paling rentan dalam hubungan kohabitasi. Tidak adanya kerangka hukum untuk mendukung finansial perempuan dan anak dalam kohabitasi membuat mereka tidak terlindungi dari dampak negatif jika hubungan berakhir. Dalam hal perpisahan, aset, hak asuh anak, maupun pembagian finansial sulit diatur tanpa ikatan pernikahan yang legal.


"Tanpa jaminan hukum, ibu dan anak tidak memiliki hak atas dukungan finansial dari ayah ketika hubungan ini berakhir," tambah Yulinda. 

Situasi ini berdampak serius pada kesejahteraan anak yang lahir dari hubungan kohabitasi, di mana mereka kerap menghadapi stigma sosial sebagai "anak luar nikah," yang memengaruhi pertumbuhan, kesehatan emosional, hingga identitas mereka.


Kohabitasi dan Kesehatan Mental;


Selain dampak finansial, kohabitasi juga menimbulkan konsekuensi pada kesehatan mental. Menurut data PK21, sekitar 69,1 persen pasangan kohabitasi mengalami konflik internal, mulai dari ketidakcocokan dalam komunikasi hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Anak-anak yang lahir dari hubungan semacam ini pun berisiko menghadapi berbagai kendala psikologis dan kesulitan beradaptasi dalam struktur keluarga dan masyarakat.


Fenomena "kumpul kebo" ini masih menjadi isu yang kompleks di Indonesia, dengan dampak luas yang melibatkan aspek ekonomi, sosial, dan kesehatan. Perlu adanya diskusi mendalam mengenai perlindungan hukum bagi pasangan kohabitasi agar dapat memitigasi risiko dan dampak negatif bagi semua pihak yang terlibat