TribunIKN.com - Sejumlah ekonom mendukung langkah Presiden Prabowo Subianto untuk memperluas hilirisasi komoditas di Indonesia, namun menggarisbawahi pentingnya penyesuaian agar kebijakan ini tidak terkesan terlalu proteksionis. Hilirisasi yang sudah dimulai pada masa Presiden Joko Widodo ini diharapkan bisa berkembang lebih inklusif dan terintegrasi dengan rantai pasok global, tanpa menimbulkan resistensi dari negara lain.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damhuri, menilai perlu adanya strategi baru dalam kebijakan hilirisasi agar mampu menarik investasi asing secara optimal. “Globalisasi adalah keniscayaan, dan ini menyebabkan hilirisasi harus melampaui fokus domestik saja,” ujar Yose dalam diskusi CSIS, Jumat (25/10/2024).
Menurut Yose, program hilirisasi tidak cukup jika hanya berorientasi pada produk dalam negeri. Ia menyarankan agar hilirisasi dibangun dengan fokus pada pengembangan *supply chain* dan *value chain* dari produk-produk Indonesia. “Jika hilirisasi juga dirancang dalam konteks regional dan global, ini akan menciptakan keseimbangan antara nilai tambah di dalam negeri dan kolaborasi internasional,” tambahnya.
Dalam rapat kabinet perdananya, Presiden Prabowo menegaskan pentingnya hilirisasi komoditas untuk mendorong kemakmuran ekonomi. Ia meminta jajaran menterinya untuk mengidentifikasi sektor yang memiliki potensi hilirisasi. Kebijakan ini dinilai mampu memperkuat posisi Indonesia dalam industri global, jika dieksekusi dengan strategi yang tepat dan inklusif.
Sejak era Presiden Jokowi, hilirisasi dilakukan melalui kebijakan larangan ekspor bahan mentah, khususnya nikel dan tembaga. Pemerintah mewajibkan nikel diolah di dalam negeri sebelum diekspor untuk meningkatkan nilai tambahnya. Namun, larangan ini sempat memicu sengketa dagang dengan Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan baru-baru ini pemerintah Indonesia juga mendapat sorotan dari Amerika Serikat terkait isu kerja paksa pada industri nikel, yang dibantah tegas oleh Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Telisa Aulia Falianty, menyatakan dukungannya terhadap perluasan hilirisasi Prabowo ke sektor lain di luar tambang. Telisa mengungkapkan bahwa hilirisasi di sektor pangan dan manufaktur memiliki potensi besar. “Kita perlu melihat komoditas lain seperti pangan, yang mungkin lebih berkelanjutan daripada tambang,” jelasnya.
Sebagai contoh, Telisa menyebut Thailand sebagai contoh sukses hilirisasi produk pangan yang bisa menjadi rujukan bagi Indonesia. Ia menambahkan bahwa meskipun nilai produk pangan relatif kecil, sektor ini memiliki daya tahan dan keberlanjutan tinggi dibandingkan sektor tambang.
“Hilirisasi di sektor makanan mungkin kecil, tapi kumulatif dan renewable,” jelasnya. Selain pangan, ia juga menyarankan agar Indonesia memperluas hilirisasi di sektor manufaktur seperti otomotif, elektronik, farmasi, dan petrokimia yang memiliki prospek pasar besar.
Para pakar menyarankan agar kabinet Prabowo melakukan kajian komprehensif untuk memetakan potensi komoditas yang paling menjanjikan di sektor hilirisasi. Kajian tersebut diharapkan dapat menciptakan strategi yang seimbang antara kepentingan domestik dan keterlibatan dalam ekonomi global, sehingga hilirisasi dapat berkontribusi optimal pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.